DI BAWAH KAKI SI LANGIT

Hembusan angin datang dan pergi menerpa ribuan padi yang berjajar rapih, membuatnya bergoyang kesana kemari. Sawah yang berundak-undak dengan padi yang telah menguning laksana tangga emas untuk mendaki keatas kayangan. Disebelah utara tak jauh dari persawahan tampak  sebuah bukit berdiri. Tingginya yang melebihi daerah sekitar membuatnya tampak angkuh. Bukit silangit, begitulah penduduk dusunku menyebutnya. Entah siapa yang menamainya, bahkan kata ayahpun nama silangit sudah ada sejak beliau masih kecil.
            “huh…” aku menghela nafasku panjang.  Walaupun sudah biasa aku menaiki bukit ini, namun tetap saja membuatku lelah. Sambil duduk aku mengatur nafasku agar kembali normal.
“ Lumayan… hari ini tangkapan kita cukup banyak, makan besar kita..” suara Abas memecah keheningan. Seperti biasa bila datang musim panen aku dan teman-teman akan ikut orang tua kesawah. Biasanya kami akan menangkap belalang dan membawanya kebukit silangit dan membakar dan menyantapnya disana. Hari ini aku hanya berdua dengan Abas teman akrabku. Sejak kecil hingga sekarang hampir setiap saat kami selalu bersama.
“ makan besar…, orang cuma belalang kok dibilang makan besar..” aku meledek.
“ Iih… budak nih, kate tadi tu hanye istilah saje …paham..” abas meinpali dengan gaya kak ros menasehati ipin dan upin.
aku pun tak mau kalah, ku balas dengan gayanya si ipin “  o.. macem tu… paham.. paham.. paham..”
“ Udah ah.. cepet kita cari ranting, dah ga sabar nih.. pengen menikmati belalang bakar”
“ Ayo…” jawabku semangat.
            Tak lama setelah ranting terkumpul, kamipun membakar belalang  buruan hari ini. Sambil menikmati indahnya persawahan dari bukit silangit kami menyantap belalang bakar dengan nikmatnya.
“ bas…” aku mengajak abas berbicara
“ heh…” Abas menjawab sekenanya, konsentrasinya masih pada lidahnya yang kesana kemari mencari selilit yang menyelip di antara gigi-giginya. Namun karena tak kunjung mendengar aku berbicara, akhira ia pun memalingjkan wajahnya kearahku.
“ Ada apa..?” Abas heran karena menemukan wajahku yang tertunduk lesu.
“ Mungkin ini saat terakhir kita bersama dibukit silangit, bas “ jawabku pelan. Mataku menerawang jauh, tatapanku kosong.
“ O.. jadi kepesantrennya…? kapan..?”
“ besok.., jawabku malas.
“ Santai aja pak ustad.. nggak usah sedih kaya gitu ah.. kayak mau mati aja.., lagian juga kita masih bisa ketemu kalau pas kamu lagi liburan, iya kan ?” kata Abas santai.
“ tapi bas, aku nggak jadi mesantren dikebumen seperti yang kita rencanakan, ayah menginginkan aku mesantren di jember tempat dulu ayah mesantren. dan itu jauh…, setahun sekalipun belum tentu aku bisa pulang apalagi tiap bulan… bahkan mungkin aku baru bisa pulang setelah aku selesai nanti. Biayanya terlalu mahal buat ayahku yang hanya petani, Bas… ” aku berusaha meyakinkan Abas. Awalnya memang kami berdua ingin mesantren bersama di kebumen, namun entah karena apa Abas mengurungkan niatnya.
“ lho, bagus malah.. jadi nanti pulang-pulang dah jadi kyai, owai… keren bro.. pulang dari pesantren, kyai Akbar maulana…weee…” Abas meledek.
“ tapi kan kita jadi nggak bisa bareng lagi bas…” terangku.
“ em… aku kok malah jadi curiga.., kayaknya bukan karena aku deh.. ha…. karena ika ya... udah deh ga usah munafik gitu, ngaku aja lah.. kalau  kamu juga senengkan sama dia..kasihan lho dia udah ngungkapin perasaannya ke kamu, e… kamunya malah diam saja, apa sih yang kurang dari dia? Cantik iya, anak orang kaya lagi.. heran deh aku sama kamu ” Abas berusaha memojokkanku.
Aku tak menjawab, hanya tersenyum kecil. Ika adalah anak pak Agus, juragan padi didusunku, hampir semua petani menjual hasil panenannya kepada beliau. Terakhir aku bertemu ika saat dia mengungkapkan kesukaannya padaku, namun sampai saat ini aku belum juga membalas cintanya. Aku selalu berusaha menghindar agar tidak bertemu dengannya. Banyak sekali pertimbangan yang membuat aku tak kunjung membalas cintanya, salah satunya aku merasa tidak pantas untuk berpacaran dengan anak juragan kaya sedangkan aku hanya anak seorang petani miskin. Disamping itu orang tuaku pun mewanti-wanti agar sebelum aku selesai belajar jangan pacaran dulu. Meskipun jujur dalam hatiku sebenarnya juga mencintainya.
***
            “Apa ndak kejauhan to pakne.., mbo yo di sini saja..wonk dikebumen ya banyak pesantrennya kok…” ibu mencoba memberi masukan pada ayah.
“ aku tahu bune… aku menyarankan akbar mondok di jember itu bukan semata-mata karena aku alumni sana.. dan juga bukan berarti aku menyangsikkan kualitas pesantren yang ada dikebumen. Buktinya, aku malah kecantol sama bidadari yang nyantri di kebumen. Bidadari yang baik hati, setia, yang selalu memberi ketentraman dan yang telah memberikan aku dua karunia terindah yang sekarang sudah mulai tumbuh dewasa ” papar ayah.
“ bapak ini lho.. wong diajak ngomong serius kok malah ngeledek..” suara ibuku sewot sambil menahan senyum.
Hingga larut malam aku belum juga dapat memejamkan mataku. Susah sekali malam ini aku tidur, hingga akhirnya aku mendengarkan obrolan ayah dan ibu. Mendengar obrolan mereka aku jadi tersenyam sendiri, walaupun usianya sudah tak lagi muda namun ayah masih sering memuji ibu sambil meledeknya. Kalau sedah begitu, pasti ibu pura-pura sewot. Aku sangat beruntung menjadi anak mereka. Jarang sekali aku mendengar ayah dan ibu bertengkar.
“ Mesantren dimana saja bagus, nggak masalah bagi bapak, Cuma… bapak pingin akbar lebih dewasa, lebih mandiri. Kalau dia mondok dikebumen atau disekitar sini saja  dia akan sering pulang dan itu membuat proses kedewasaan dan kemandiriannya menjadi lambat.” Ayah mencoba menjelaskan.
“ tapi apa bapak nggak kangen sama akbar nanti, belum tentu setahun sekali dia bisa pulang “
Setelah menarik nafas panjang dan memperbaiki posisi duduknya ayah menimpali “ kangen ya pasti wong anak.. tapi kalau kita ngaboti  kangen ya kapan dia akan belajar mandiri. Kalau kita pengin melihat anak kita mandiri dan pinter  ya.. harus siap kangen, itu konsekwnsinya “

***
            Matahari belum lama naik keperaduannya. Sepasang burung pipit berkejaran melompat dari dahan satu kedahan yang lain. Suara  burung jantan memecah suasana pagi berusaha menarik perhatian si betina dengan suaranya yang merdu. Gemericik air mengalir menambah harmoni kehidupan yang  terbangun kembali dari tidur malam.
“ Sudah siap nak…” Tanya Ayahku yang tiba-tiba saja sudah berada dikamarku. Kesibukanku mengemas pakaian dan segala yang aku perlukan kedalam tas membuat aku tak menyadari kapan ayah masuk.
sekedap malih pak..”jawabku.
“ Oh ya sudah.. “
Ayah melangkah keluar, tak lama kemudian ibu masuk sambil menenteng kresek berisi alat mandi kepunyaanku.
“ Diteliti lagi mbok ada yang ketinggalan” saran ibuku.
sampun bu.. kayaknya sudah semua “ jawabku
yo wis,  le..nanti kalau sudah disana kamu ngajinya yang rajin, jangan nakal, jangan banyak tingkah, manut sama peraturan, banyak berdoa, syukur-syukur tiap malam tahajud, inget pesen ibu nak.  dadio wong sing biso rumongso ojo rumongso biso. Ingat keadaan bapak dan ibumu, jadi kamu jangan main main disana “ ibu menasehati sambil mengusap rambutku.
injih bu, minta doa restunya”
“ iya nak.. ibu selalu mendoakan kamu “
terdengar suara parau ibu.
Lalu ibu memelukku dalam tangis. Aku yang sedari tadi  berusaha menahan untuk tidak menangis pun akhirnya tak kuasa lagi membendungnya.
“ udah to bune… nanti si Akbar malah jadi nggak betah diponoknya kepikiran bune terus..” suara ayah menyadarkan kami berdua.
“ sudah siap semua kan bar..? kalau begitu,  Kita berangkat sekarang saja mumpung belum masih pagi”
Aku mengangguk, kemudian mengankat tas keluar kamar menuju beranda rumah.
 Yo wis bune.. kita berangkat ” ayah berpamitan pada ibu
“ hati-hati pakne..,inget pesen ibu le…”
Ibu mencium tangan bapak disusul aku mencium tangan ibu.
“ fadil…, salam sama mamas” ibu memerintahkan  fadil adikku untuk bersalaman.
Fadhil mendekat dan mencium tanganku.
“ Assalamu’alaikum”
Wa’alaikum salam” ibu menjawab salam kami.

***
            Angkutan pedesaan melaju membawa kami menjauh dari dusun melewati area persawahan. Tampak bukit silangit yang menjulang tinggi kian mengecil mengecil dan akhirnya hilang. Disamping kanan jalan terlihat agak jauh disebuah tanah lapang dekat dengan sawah, Abas sedang menerbangkan burung merpatinya. Ingin aku berteriak memangginya namun aku malu dengan penumpang lain. Akhirnya aku hanya diam sambil memadang sedih, aku harus berpisah dengan Abas teman kecilku. Aku tersenyum melihat tingkah Abas yang menggerak-gerakkan tangannya memerintahkan merpatinya terbang. “Hem.. Abas Abas, dasar maniak merpati, dari dulu sampai sekarang, nggak bosen-bosen dia”, batinku.
Lamunanku tentang abas seketika buyar ketika angkutan yang kunaiki melewati sebuah bangunan megah. ya, bangunan termegah didusunku ini adalah rumah juragan Agus ayah Ika. Aku m enarik nafas dalam dan melepaskannya panjang. Ah sudahlah  aku anggap saja Ika sebagai teman baikku, tidak lebih. Biarlah ini semua menjadi kenangan masa kecilku.
***
Aku tersenyum sekaligus sedih mengingat masa laluku. Sudah lama aku tidak mengingat Abas, Ika dan tentunya tempat favoritku disaat kecil, silangit.  Aku seperti terseret kemasa laluku setelah sekian lama terlupakan. Ya.. tujuh tahun memang bukanlah waktu yang singkat, apapun dapat terjadi. Seperti pagi ini antara percaya dan tidak, ketika tanpa sengaja aku membaca berita dikoran.

kang akbar, dipun timbali kang Wahid.tirose ditenggo teng secretariat “ seorang santri menyampaikan pesan dari Ust Wahid, lurah pondokku.
oh nggih.. matur nuwun kang” jawabku.
Aku bergegas kesekretariat pondok. Tidak biasanya kang wahid memanggilku, pasti ada yang penting.
Sampai diskretariat kulihat masih kosong, berarti kang wahid belum datang. Sambil menunggu kang wahid aku ambil Koran hari ini, aku membolak baliknya mencari berita yang menarik. Hingga pada akhirnya mataku menangkap sebuah berita yang berasal dari daerahku, kebumen.

BRI Dirampok, Satu Perampok Tewas Satu Orang Dibekuk
Kebumen.  BRI  cabang kebumen siang kemarin dirampok dua orang bersenjata. Namun aksi perampokan tersebut dapat digagalkan oleh dua satpam yang sedang berjaga. Menurut penuturan saksi, sempat terjadi perkelahian antara korban dengan satpam yang dibantu nasabah. Senjata yang dipegang perampok meletus dan mengenai tubuhnya sendiri. Sementara perampok yang satu dapat diringkus oleh satpam yang lain dengan dibantu oleh para nasabah. Perampok yang tewas bernama Bambang sedangkan yang ditangkap bernama Abas. 
   
Abas, teman kecilku yang dulu selalu bersama menghabiskan waktu di bukit silangit. Kini harus meringkuk di penjara akibat dari perbuatannya.***

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "DI BAWAH KAKI SI LANGIT"

Posting Komentar